Sabtu, 18 Januari 2014

PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN


PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DARI ANCAMAN DISINTEGRASI
 
Tindakan bangsa Indonesia untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan bukan hanya melalui kekerasan senjata melainkan juga ditempuh dengan jalan damai yaitu melalui perundingan-perundingan atau melalui jalur diplomasi. Beberapa perundingan yang pernah dilakukan oleh pemerintah dengan Belanda selama masa perang kemerdekaan (1945-1949) diantaranya adalah Perundingan Linggar Jati / perjanjian linggarjati .

1.      Perundingan Linggarjati
Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda diLinggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947. Perjanjian linggarjati atau Perundingan Linggar Jati adalah Diplomasi Sejarah Indonesia Nasional Antara Republik Indonesia dengan Belanda, dimana Perjanjian linggar jati adalah suatu perjanjian yang dilakukan antara Sutan Sahmi dari pihak Indonesia dengan Dr.H.J. Van Mook dari pihak pemerintah Belanda. Kesepakatan linggar jati yang berlangsung selama 4 (empat) hari disepakati di sebuah desa linggar jati di daerahKabupaten Kuningan.
Hasil perundingan tertuang dalam 17 pasal. 4 (Empat) isi pokok pada perundingan linggar jati adalah :

1. Belanda mengakui secara defacto wilayah RI / Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 januari 1946.
3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat atau RIS.
4. Dalam bentuk RIS indonesia harus tergabung dalam Commonwealth / Uni Indonesia Belanda dengan mahkota negeri Belanda debagai kepala uni.

Dengan adanya kesepakatan perjanjian / perundingan linggarjati, Negara Indonesia mengalami kekalahan selangkah dari Belanda, karena wilayahnya semakin sedikit. Perundingan ini/Perjanjian ini berawal dari hambatan yang dihadapi bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan adalah dari tentara Jepang yang masih ada di Indonesia. Meskipun Jepang telah menyerah sama sekutu. Tetapi mereka dalam jumlah yang cukup besar masih belum kembali ke negerinya.
Perundingan ini diadakan di Linggar Jati sebelah selatan Cirebon 10 November 1946 dipimpin oleh Lord Killearn dan ,menghasilkan suatu persetujuan. Naskah hasil perundingan diumumkan dan farap oleh kedua belah pihak pada tanggal 15 Nov 1946. Setelah naskah diparaf timbul berbagai macam tanggapan masyarakat Indonesia yang mendukung dan menentang terhadap naskah itu sehingga akhirnya naskah itu baru ditandatangani 25 Maret 1947.
Meskipun persetujuan Linggar Jati telah ditandatangani namun hubungan Indonesia Belanda tidak bertanbah baik, karena adanya perbedaan penafsiran terhadap beberapa persetujuan dan Pihak Belanda selalu berusaha untuk melanggar persetujuan itu.
2.      Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947)
Selepas perjanjian Linggarjati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, terjadi perbedaan yang mendasar antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda terutama menyangkut permasalahan politik luar negeri dan aset-aset perekonomian Belanda.
Perdana Menteri Sjahrir mengintepretasikan bahwa Indonesia berhak menjalankan politik luar negerinya secara mandiri sedangkan pihak Belanda tidak membenarkannya. Dan masalah pengambil-alihan perkebunan-perkebunan Belanda di Jawa dan Sumatera yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak Indonesia untuk kegiatan perekonomian, terutama pada kegiatan ekspor dan impor, merupakan suatu hal yang wajar karena di tanah Indonesia merdekalah perkebunan-perkebunan tersebut tumbuh. Namun secara umum Sjahrir menerima isi dari perjanjian Linggarjati tersebut yang menyebabkan di kemudian hari Partai Sosialis menarik dukungannya kepada Sjahrir. Tanpa dukungan Partai Sosialis, ia kemudian mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Karena tidak mencapai titik temu, pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengajukan nota yang bersifat ultimatif ( yang artinya nota ini sengaja dibuat agar pihak Indonesia tidak dapat menerima usulan Belanda). Pada intinya untuk membentuk pemerintahan dan pasukan bersama atau “gendarmarie”. Baik Perdana Menteri Sjahrir maupun penggantinya yaitu Amir Sjarifudin menolak rencana Belanda tersebut.
Tanggal 15 Juli 1947, Belanda kembali mengirimkan nota serupa dan pihak Indonesia harus menjawabnya dalam waktu 32 jam. Dua hari kemudian pada tanggal 17 Juli 1947, Perdana Menteri Amir Sjarifudin menjawab nota Belanda melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Tetapi van Mook menyatakan bahwa jawaban Pemerintah Republik Indonesia tidak memuaskan. Maka pada tanggal 20 Juli 1947, Pemerintah Belanda memberi kuasa kepada van Mook untuk mengambil tindakan “seperlunya” terhadap Republik Indonesia.
Dengan kekuatan sekitar 125.000 orang, Belanda menyerbu ke wilayah Indonesia. Pasukan mereka terdiri dari 110.000 KL (Koninklijke Leger), 12.000 KM (Koninklijke Marinier) dan sisanya adalah anggota KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger). Mereka terdiri dari 3 kelompok pasukan (19 batalyon) :
(a) OVW (Oorlogsvrij Willigers), dibagi menjadi dua divisi yaitu divisi A dan B
(b) EM (Expeditionnaire Macht), dibagi menjadi tiga divisi yaitu : C, D dan E.
(c) ZIB (Zelfstandige Infantarie Brigades), yang dipecah menjadi tiga brigade : F, G dan H
Komando tertinggi Belanda pada agresi ini adalah Letnan Jenderal Simon H. Spoor.Pihak Belanda tidak menganggap serangannya ke wilayah republik khususnya Jawa dan Sumatera adalah agresi militer tetapi sebatas aksi polisionil pada sasaran-sasaran yang sifatnya ekonomis, sehingga mereka menamakan operasinya sebagai Operasi “Produk”.
Berikut beberapa nama pimpinan Divisi dan Brigade dari pihak Belanda :
(a) Penguasaan DKI Jakarta, oleh Divisi E di bawah pimpinan Mayor Jenderal M. Durst Britt.
(b) Bandung dikuasai oleh Divisi B di bawah pimpinan Mayor Jenderal “Siem” de Waal. Divisi ini dipecah menjadi dua brigade yaitu brigade V pimpinan Kolonel Jan Meijer dan Brigade W pimpinan Letnan Kolonel van Gulik. Brigade V dan W kemudian meneruskan operasinya menuju Jawa Tengah melalui jalan yang berbeda (Brigade V melewati Sumedang dan Brigade W melewati Subang) dan mereka bertemu di Cirebon.
(c) Semarang sendiri dibawah pengawasan Brigade T (Tijger = Harimau) pimpinan Kolonel J. van Langen.
(d) Divisi A di bawah pimpinan Mayor Jenderal M.R. De Bruyne dari marinir bertugas merebut Jawa Timur. Unsur angkatan darat dari divisi ini diisi oleh Brigade X pimpinan Letnan Kolonel van der Meulen.
(e) Di Sumatera mereka dipecah menjadi tiga brigade. Brigade Z dibawah pimpinan Kolonel Piet Scholten di Medan, brigade U dibawah pimpinan Letnan Kolonel J.W. Sluyter di Padang dan brigade Y dibawah pimpinan Letnan Kolonel Mollinger bertugas di Palembang.

Pihak Republik Indonesia pun tidak tinggal diam menghadapi pasukan Belanda ini. Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Kepala Staf Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai pimpinan Tentara Nasional Indonesia (istilah TNI resmi semenjak 5 Mei 1947) mempersiapkan dan mempertahankan kubu-kubu di sekitar kantong-kantong yang diduduki Belanda secara bergerilya. Berikut beberapa nama pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas mempertahankan wilayahnya masing :
(a) Jawa Barat dipercayakan kepada Divisi I Siliwangi pimpinan Mayor Jenderal A.H. Nasution
(b) Jawa Tengah sebagai jantung Pulau Jawa dipertahankan oleh tiga Divisi yaitu : Divisi II Gunung Djati pimpinan Mayor Jenderal Gatot Subroto yang meliputi daerah Cirebon, Tegal dan Banyumas, Divisi III Diponegoro dibawah pimpinan Mayor Jenderal R. Susalit yang meliputi daerah Pekalongan, Kedu, Yogyakarta, Pemalang dan Kendal serta Divisi IV Panembahan Senopati yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Sutarto yang bertugas mengawal daerah Semarang, Solo dan Pacitan.
(c) Dan di Jawa Timur dikawal oleh 3 divisi pula. Divisi V Ronggolawe dibawah Mayor Jenderal Djatikusumo yang bertugas di Pati, Bojonegoro dan Madiun, Divisi VI Narotama di bawah pimpinan Mayor Jenderal Sungkono yang bertugas mengawal daerah Kediri dan sekitarnya serta Divisi VII Suropati yang bertugas menjaga daerah Malang dan sekitarnya.
(d) Di Pulau Sumatera terdapat Divisi VIII Garuda yang mengawal daerah Palembang yang dipimpin oleh Kolonel Mauludin Simbolon, Divisi IX Banteng mempertahankan daerah Sumatera Tengah yang dipimpin oleh Kolonel Ismail Lengah dan Divisi X Gajah yang menjaga daerah Sumatera Utara dipimpin oleh Kolonel Hopman Sitompul.
Pasukan Belanda yang paling jauh menempuh daerah operasi dan paling cepat pergerakannya adalah dari Brigade V pimpinan Kolonel Jan Meier. Bermula dari Bandung (21 Juli) kemudian menuju Cicalangka, Sumedang, Tomo, Cirebon (25 Juli), Tegal, Slawi, Bumiayu kemudian berputar arah menuju Tuwel, Gunung Slamet, Bobotsari, Purbalingga (31 Juli), Sukaraja, lalu Brigade V dibagi 2, sebagian menuju kota pelabuhan Cilacap dan sebagian lagi menuju Yogyakarta sebagai target utama. Pergerakan Brigade V terhenti di Gombong pada tanggal 4 Agustus 1947, dan masih 130 km lagi dari kota Jogjakarta. Atas aksinya itu Kolonel Jan Meier mendapatkan penghargaan tertinggi militer Belanda.
Meski kalah dalam persenjataan, semangat juang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan laskar-laskar rakyat tidaklah padam, walau dengan menggunakan taktik gerilya dan perang semesta semangat “merdeka atau mati” tertanam erat seluruh lapisan tentara maupun masyarakat. Nasution sendiri memerintahkan untuk menghindari bentrokan besar-besaran dengan tentara Belanda yang dari segi teknis lebih unggul. Dia memerintahkan kesatuan untuk mundur ke “daerah-daerah kantong”, sehingga mereka dapat menerapkan perang gerilya. Dan di aksi militer Belanda inilah persahabatan antara tentara dan masyarakat terjalin sangat erat dan dekat.
Seiringan dengan agresi Belanda itu, pemerintah Indonesia pun berjuang melalui jalur diplomatik. Mantan Perdana Menteri Bung Sjahrir berhasil lolos dari sergapan Belanda menuju Singapura pada tanggal 22 Juli 1947 dengan menggunakan pesawat “Biju Patnaik”, milik seorang temannya yang berasal dari Bengali. Keesokan harinya ia menuju New Delhi India untuk bertemu dengan Nehru mencari dukungan. Sjahrir terus melakukan pendekatan kepada Nehru.            Pada tanggal 30 Juli 1947, Nehru dengan dengan resmi meminta supaya aksi militer Belanda dimasukan ke dalam agenda Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB bersidang dan menerima mosi bahwa Belanda dan Republik Indonesia diperingatkan untuk menghentikan tembak-menembak. Sidang cabinet Belanda berkumpul pada tanggal 4 Agustus 1947 di rumah Menteri Seberang Lautan, Jonkman (karena sedang menderita penyakit ‘erysipelas’), dengan mempertimbangankan bahwa sasaran yang diinginkan terutama perkebunan-perkebunan telah tercapai dan “sikap berniat baik” Belanda pada saat ini lebih penting daripada memenangkan wilayah di Jawa dan Sumatera. Hari itu juga melalui telepon diperintahkan kepada Gubernur Jenderal van Mook untuk menghentikan agresi militer.
3.      Perjanjian Renville
Atas usulan KTN (Komisi 3 Negara) pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia dan Belanada di atas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta.Delegasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda.
Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasala dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia mudah dikuasainya. Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pokok-pokok isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut :
  1. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia samapi kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
  2. Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-Belanda.
  3. Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS
  4. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagain kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara.
  5. Pasukan republik Indonesia yang berda di derah kantong haruns ditarik ke daerah Republik Indonesia. Daerah kantong adalah daerah yang berada di belakang Garis Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki Belanda.

Perjanjian Renville ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. kerugian yang diderita Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville adalah sebagai berikut :
  1. Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui masa peralihan.
  2. Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaannya karena grais Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda.
  3. Pihak republik Indonesia harus menarik seluruh pasukanya yang berda di derah kekuasaan Belanda dan kantong-kantong gerilya masuk ke daerah republic Indonesia.
Penandatanganan naskah perjanjian Renville menimbulkan akibat buruk bagi pemerinthan republik Indonesia, antra lain sebagai berikut:
  1. Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikururung oleh daerah-daerah kekuasaan belanda.
  2. Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin republic Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya cabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada Belanda.
  3. Perekonomian Indonesia diblokade secara ketata oleh Belanda
  4. Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan.
  5. Dalam usaha memecah belah Negara kesatuan republic Indonesia, Belanda membentuk negara-negara boneka, seperti; negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara jawa Timut. Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag).
4.      Agresi Militer Belanda II
Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting.
Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai." Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai.
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
Presiden dan Wakil Presiden memutuskan untuk tetap tinggal di Ibukota, meskipun mereka akan ditawan oleh musuh. Alasanya,supatya mereka mudah ditemui oleh KTN dari kegiatan diplomasi dapat berjalan terus.Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presidenmembuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat suratuntuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar danMenteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Tentara Belanda berhasil memasuki istana keprisidenanan dan para pejabat tinggi negara ditawan,semuanya ada 150 orang. Pagi harinya tanggal 22 Desember 1948,Presiden Soekarno,Haji agus salim dan Sutan Syahrir diasingkan ke Berastagi,kemudian dipindahkan kePrapat di tepi danau Toba, Sumatera Utara. Moh.hatta, Moh Roem, Mr. A.GPringgodigdo, Mr.Assaat dan Komandor S. Suyadayrman diasingkan ke Muntok di Pulau Bangka.
Pada Bulan Januari akhir, Presiden Sukarno dan Haji Agus Salim dipindahkanke Muntok sehingga berkumpul dengan Moh. Hatta dan kawan-kawan.Untuk menghindari serangan Belanda dan agar selalu tetap bersama-sama denganTNI, Panglima Besar Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya dengan berpindah- pindah tempat. TNI melakukan serangan umum terhadap kota Yogyakarta pada tanggal 1Maret 1949 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel suharto, Komado Brigade 10 DaerahWehrkereise III yang membawahi daerah Yogyakarta.
Serangan umum pada tanggal 1Maret dilakukan serentak dari berbagai jurusan kota sehingga tentara Belanda sangat terkejut dan tidak mampu menguasi keadaan. Mulai pukul 06.00 WIB hingga 12.00 WIB,TNI berhasil menguasai Yogyakarta. TNI walaupun hanya enam jam menduduki kotaYogyakarta, seranganya mempunyai arti yang sangat penting yaitu:
•Meningkatkan moral rakyat dan TNI yang sedang berjuang
•Mematahkan moral pasukan Belanda
Menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI mempunyai kekuatanuntuk menyerang dan menunjukan bahwa Indonesia masih ada atas eksis.
5.      Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) adalah penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia periode 22 Desember 1948 - 13 Juli 1949, dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara yang disebut juga dengan Kabinet Darurat. Sesaat sebelum pemimpin Indonesia saat itu, Sukarno dan Hatta ditangkap Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, mereka sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara.
Tidak lama setelah ibukota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, Belanda berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan. Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Yogya dan menangkap para pimpinan RI, pada 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. Teuku Moh. Hasan, Gubernur Sumatera/ Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh. Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat.
Rapat tersebut antara lain dihadiri oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sesungguhnya, sebelum Soekarno dan Hatta menyerah, mereka sempat mengetik dua buah kawat. Pertama, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra.
Kedua, jika ikhtiar Sjafruddin gagal, maka mandat diberikan kepada Mr. A.A.Maramis untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India. Tetapi Sjafruddin sendiri tidak pernah menerima kawat itu. Berbulan-bulan kemudian barulah ia mengetahui tentang adanya mandat tersebut.
Pada 22 Desember 1948, Kabinet Darurat PDRI berhasil dibentuk.Di Koto Tinggi, stasiun radio dan telegram milik PDRI berhasil mengontak stasiun radio di Pulau Jawa. Kawat balasan pertama dari Jawa dikirim oleh Kepala Staf Umum Angkatan Perang Republik Indonesia, Kolonel Simatupang, pada 19 Januari 1949. Telegram berikutnya berasal dari Wakil Panglima, Kolonel Abdul Haris Nasution. Mereka semua mengaku keberadaan PDRI dan siap bekerja sama.Setelah berkoordinasi dengan para pemimpin di Jawa, maka pada tanggal 31 Maret 1949, Sjafruddin menyempurnakan susunan kabinetnya. Sementara di Jawa, pada 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI yang dikoordinir oleh Mr. Susanto Tirtoprojo.
Susunan Kabinet PDRI  :
1. Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan
2. Mr. Soesanto Tirtoprodjo: Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda
3. Mr. AA. Maramis: Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India)
4. dr. Soekirman: Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan
5. Mr. Loekman Hakiem: Menteri Keuangan
6. Mr. IJ. Kasimo: Menteri Kemakmuran dan Pengawas Makanan Rakyat
7. KH. Masjkoer: Menteri Agama
8. Mr. T. Moh. Hasan: Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
9. Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan
10. Ir. Mananti Sitompoel: Menteri Pekerjaan Umum
11. Mr. St. Moh. Rasjid: Menteri Perburuhan dan Sosial
Bidang Militer
1. Jenderal Soedirman: Panglima Besar Angkatan Perang RI
2. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion: Panglima Tentara dan Teritorium Jawa
3. Kolonel R. Hidayat Martaatmadja: Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera
4. Kolonel Nazir: Kepala Staf Angkatan Laut
5. Komodor Udara Hoebertoes Soejono: Kepala Staf Angkatan Udara
6. Komisaris Besar Polisi Oemar Said: Kepala Kepoisian Negara
Gerilya
Beberapa bulan sebelum perundingan Roem-Royen ditandatangani, Sjafruddin Prawiranegara terus menggelorakan perang gerilya dari hutan ke hutan. Pemerintahan dijalankan secara “bergerak” sehingga tentara Belanda sulit menjangkaunya.Pada 22 Desember 1948, PDRI bergerak ke Halaban menuju Muaro Mahat, terus ke Bangkinang, Riau.

6.      Negara-Negara Boneka Bentukan Belanda (BFO)
Berbagai macam cara dilakukan Belanda untuk menguasai Indonesia kembali diantaranya pembentukan Negara-negara boneka. Pihak Belanda membentuk pemerintahan Federal dengan Van Mook sebagai kepala pemerintahannya. Dalam Konferensi Federal di Bandung pada tanggal 27 Mei 1948 lahirlah Badan Permusyawaratan Federal (BFO: Bijeenkomst voor Federal Overleg) didalam BFO terhimpun Negara-negara boneka ciptaan Belanda:


NEGARA
TAHUN BERDIRI
WILAYAH
WALI NEGARA
Negara Indonesia Timur
Desember 1946
Sebelah timur selat Makassar dan Selat Bali
Cokorda Gde Raka Sukarwati
Negara Sumatera Timur
Disetujui: 25 Des 1945
Diresmikan: 16 Peb 1947
Medan dan sekitarnya
Dr. Mansyur
Negara Sumatera Selatan
30 Agustus 1948
Palembang dan sekitarnya
Abdul Malik
Negara Jawa Timur
26 Nopember 1948
Surabaya, Malang, dan daerah-daerah sebelah timur sampai Banyuangi
RT. Kusumonegoro
Negara Pasundan
26 Pebruari 1948
Priangan, Jawa barat dan sekitarnya
RAA. Wiranatakusumah
Negara Madura
16 januari 1948
Pulau Madura dan sekitarnya
Cakraningrat
Daerah-daerah Otonom:
-    Kalimantan Barat

Oktober 1946

Kalimantan barat


Sultan hamid II
-    Dayak Besar
Desember 1946
Kalimantan Tengah
-    Banjar
Januari 1948
Banjar dan sekitarnya
-    Kalimantan Tenggara
Maret 1947
Pulau Laut, Pagetan, cantung dan Sampangan
-    Jawa tengah
Maret 1949
Banyumas. Pekalongan dan Semarang
-   Bangka, Belitung dan Riau
Januari 1947
Kepri dan Babel

7.      Perjanjian Roem Royen
Tepat pada pukul 17.00 tanggal 7 Mei 1949 telah tercapai suatu persetujuan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda yang disebut “Persetujuan Roem-Royen”. Persetujuan Roem-Royen merupakan salah satu peristiwa penting dari serangkaian perundingan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menuju pengakuan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949.
Persetujuan Roem-Royen diawali dengan perundingan RI-Belanda pada tanggal 17 April 1949 atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia. Perundingan diadakan di Hotel Des Indes Jakarta dipimpin oleh Merle Cochran. Delegasi Indonesia diketuai oleh Mr. Moh. Roem dan Mr. Ali Sastroamidjojo sebagai wakil ketua. Anggota-anggotanya, yaitu dr. Leimena, Ir. Djuanda, Prof. Dr. Mr. Supomo, Mr. Latuharhary, dan disertai oleh lima orang penasihat.
 Adapun Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Royen dengan anggota-anggota: Mr. N.S. Blom, Mr. A. Jacob, Dr. J.J. van der Velde, dan empat orang penasihat. Delegasi RI dalam pidatonya menuntut agar perundingan ini lebih dahulu menyetujui pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta setelah itu baru akan dibahas mengenai soal-soal lainnya. Pihak Belanda bersedia mendahulukan perundingan mengenai syarat-syarat untuk kemungkinan kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta, namun tiap kewajiban yang mengikat yang mungkin timbul dalam perundingan harus ditunda hingga dicapainya kesepakatan tentang penghentian perang gerilya dan perjanjian pelaksanaan KMB.
 Kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing sehingga perundingan berjalan amat lambat. Pihak RI sebenarnya bukanlah menuntut pengembalian Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dari pengasingan ke Yogyakarta, tetapi menuntut pengembalian pemerintah RI disertai dengan pengakuan kedaulatan atas wilayah tertentu dari pihak Belanda. Hal ini dilakukan karena pihak Belanda terus-menerus menggerogoti wilayah RI yang diakui secara de facto dalam Persetujuan Linggajati dengan mendirikan negara-negara boneka di wilayah yang dikuasainya.
Untuk menghindari kebuntuan dalam perundingan, pihak RI melakukan langkah lain. Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 24 April 1949 datang ke Jakarta untuk melakukan perundingan informal dan langsung dengan pihak Belanda disaksikan oleh Merle Cochran. Keesokan harinya perundingan itu dimulai. Hatta menyatakan bahwa perundingan itu untuk membantu memberikan penjelasan kepada delegasi Belanda mengenai tuntutan RI. Perundingan lanjutan pun dilakukan sebanyak dua kali, tanggal 28 April dan 4-5 Mei 1949.
 Pemerintah Belanda akhirnya dapat menyetujui pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta, dengan syarat penghentian perang gerilya. Namun, Belanda hanya mengakui wilayah RI seluas lima mil persegi. Hal itu menimbulkan keberatan pihak RI karena wilayah seluas lima mil persegi adalah sangat berbahaya bagi keamanan. Pihak RI menuntut daerah seluas Yogyakarta termasuk lapangan terbang Maguwo dan batas selatan Samudra Indonesia. Namun tuntutan RI itu ditolak Belanda.
Kesepakatan akhirnya dicapai pada tanggal 7 Mei 1949. Ketua Delegasi Indonesia Mr. Moh. Roem atas nama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan kesanggupan untuk memudahkan : Pengeluaran perintah kepada “pengikut RI yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya, Kerja sama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Ketua Delegasi Belanda Dr. van Royen selanjutnya membacakan pernyataan yang antara lain berisi :
1.      Delegasi Belanda menyetujui pembentukan satu panitia bersama di bawah pengawasan Komisi PBB dengan tujuan untuk : mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya pemerintah RI,
2.       mempelajari dan memberikan nasihat tentang tindakan yang diambil dalam melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerja sama mengembalikan perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban.
3.      Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa melakukan jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi Keresidenan Yogyakarta. Pemerintah Belanda membebaskan tidak bersyarat pemimpin-pemimpin Indonesia dan tahanan politik yang tertangkap sejak tanggal 19 Desember 1948.
4.      Pemerintah Belanda menyetujui RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat (NIS). Konferensi Meja Bundar di Den Haag akan dilaksanakan secepatnya setelah pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta. Pada konferensi tersebut diadakan pembicaraan tentang bagaimana cara-cara mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat (NIS).





8.      Konferensi Inter Indonesia (KII)
Konferensi Inter Indonesia merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik Indonesia dengan negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang tergabung dalam BFO. Pada awalnya pembentukkan BFO ini diharapkan oleh Belanda akan mempermudah Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Namun sikap negara-negara yang tergabung dalam BFO berubah setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua terhadap Indonesia. Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dapat dibebaskan dan BFO jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya Konferensi Inter-Indonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi dilaksanaklannya Konferensi Inter-Indonesia pada bulan Juli 1949.
BFO yang didirikan di Bandung pada 29 Mei 1948 merupakan lembaga permusyawaratan dari negara-negara federal yang memisahkan dari RI. Perdana Menteri negara Pasundan, Mr. Adil Poeradiredja, dan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, Gede Agung, memainkan peran penting dalam pembentukan BFO.
BFO yang dibentuk di Bandung tentu saja tak bisa dilepaskan dari strategi van Mook mendirikan negara boneka di wilayah Indonesia yang dimulai sejak 1946. Beberapa negara federal yang tergabung dalam BFO masih menyisakan jejak-jejak van Mook.
Tetapi tidak berarti BFO sepenuhnya dikendalikan oleh van Mook atau Belanda. Bahkan dalam beberapa hal, BFO dan van Mook berseberangan sudut pandang. BFO yang lahir di Bandung bergerak dalam kerangka negara Indonesia yang merdeka, berdaulat dan berbentuk negara federal. BFO ingin agar badan federasi inilah yang kelak juga menaungi RI di bawah payung Republik Indonesia Serikat.
Ini berbeda titik pijak dengan van Mook yang jusrtu berharap BFO bisa menjadi pintu masuk untuk meniadakan pemerintah Indonesia, persisnya Republik Indonesia. Kegagalan mengendalikan sepenuhnya BFO inilah yang menjadi salah satu penyebab mundurnya van Mook sebagai orang yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda guna mengusahakan kembalinya tatanan kolonial. Alasan itu menjadi penyebab Wakil Tinggi Pemerintah Belanda di Jakarta, Beel, juga mengundurkan diri dari jabatannya.
BFO ikut pula memainkan peran penting dalam membebaskan para petinggi RI yang ditangkap Belanda pada Agresi Militer II. Para pemimpin BFO mengambil sikap yang tak diduga oleh Belanda tersebut menyusul Agresi Militer II yang diangap melecehkan kedaulatan sebuah bangsa di tanah airnya. Agresi Militer II tak cuma melahirkan simpati dunia internasional, melainkan juga simpati negara-negara federal yang sebelumnya memisahkan dari RI.
Selain membahas aspek-aspek mendasar hingga teknis perencanaan membangun dan membentuk RIS, Konferensi Intern-Indonesia juga digunakan sebagai konsolidasi internal menjelang digelarnya Konferensi Meja Bundar yang dimulai pada 23 Agustus 1949. Bagi pemerintah RI sendiri, kesediaan menggelar Konferensi Inter-Indonesia bukan semata karena ketiadaan pilihan lain yang lebih baik, melainkan juga karena pemerintah RI menganggap BFO tidak lagi sama persis dengan BFO yang direncanakan van Mook. Soekarno menyebut konferensi ini sebagai “trace baru” bagi arah perjuangan Indonesia.

Konferensi yang berlangsung hingga 22 Juli itu banyak didominasi perbincangan mengenai konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama mengenai susunan kenegaraaan berikut hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hasil kesepakatan dari Konferensi Inter-Indonesia adalah:
  1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme (serikat),
  2. RIS akan dikepalai oleh seorang Presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden, 
  3. RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari kerajaan Belanda, 
  4. Angkatan perang RIS adalah angkatan perang nasional, dan Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS, dan 
  5. Pembentukkan angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri. Angkatan Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan inti dari TNI dan KNIL serta kesatuan-kesatuan Belanda lainnya.
Dampak dari Konferensi Inter-Indonesia adalah adanya konsensus yang dibangun melalui Konferensi Intern-Indonesia yang menjadi modal berharga bagi pemerintah RI, terutama delegasi Indonesia yan dtunjuk untuk berunding dengan Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Keberadaan BFO dan sikap tegas Gde Agung untuk menolak intervensi Belanda membuat pemerintah Indonesia memiliki legitimasi yang makin kuat untuk berunding dengan Belanda di KMB.

Konferensi Meja Bundar (KMB)

1. Latar belakang pengembalian Irian Barat
Apakah Irian Barat termasuk wilayah Indonesia ?
Jawabannya adalah ya!
Karena apabila ditinjau dari segi politis, bahwa berdasarkan perjanjian international 1896 yang diperjuangkan oleh Prof. Van Vollen Houven (pakar hukum adat Indonesia) di sepakati bahwa ”Indonesia” adalah bekas Hindia Belanda. Sedangkan Irian Barat walaupun dikatakan oleh Belanda secara kesukuan berbeda dengan bangsa Indonesia, tetapi secara sah merupakan wilayah Hindia Belanda.
Apabila ditinjau dari segi antropologi, bahwa bangsa Indonesia yang asli adalah Homo Wajakensis dan Homo Soloensis yang mempunyai ciri-ciri: kulit hitam, rambut keriting (ras austromelanesoid) yang merupakan ciri ciri suku bangsa Aborigin (Australia) dan ras negroid (Papua).
Apabila ditinjau dari segi sejarah , bahwa Konferensi Meja Bundar yang dilakukan untuk mengatur penyerahan kedaulatan Indonesia diwarnai dengan usaha licik Belanda yang ingin terus mempertahankan Irian Barat (New Guinea) dengan alasan kesukuan. Akhirnya KMB memutuskan penyelesaian Irian Barat akan ditentukan dalam masa satu tahun setelah penyerahan kedaulatan melalui perundingan antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Perjuangan diplomasi  pendekatan diplomasi
a. Perundingan Bilateral Indonesia Belanda
Pada tanggal 24 Maret 1950 diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri Uni Belanda - Indonesia. Konferensi memutuskan untuk membentuk suatu komisi yang anggotanya wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk menyelidiki masalah Irian Barat. Hasil kerja Komisi ini harus dilaporkan dalam Konferensi Tingkat Menteri II di Den Haag pada bulan Desember 1950. Ternyata pembicaraan dalam tingkat ini tidak menghasilkan penyelesaian masalah Irian Barat.


Pertemuan Bilateral Indonesia Belanda berturut-turut diadakan pada tahun 1952 dan 1954, namun hasilnya tetap sama, yaitu Belanda enggan mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia sesuai hasil KMB.
b. Melalui Forum PBB
Setelah perundingan bilateral yang dilaksanakan pada tahun 1950, 1952 dan 1954 mengalami kegagalan, Indonesia berupaya mengajukan masalah Irian Barat dalam forum PBB. Sidang Umum PBB yang pertama kali membahas masalah Irian Barat dilaksanakan tanggal 10 Desember 1954. Sidang ini gagal untuk mendapatkan 2/3 suara dukungan yang diperlukan untuk mendesak Belanda.
Indonesia secara bertrurut turut mengajukan lagi sengketa Irian Barat dalam Majelis Umum X tahun 1955, Majelis Umum XI tahun 1956, dan Majelis Umum XII tahun 1957. Tetapi hasil pemungutan suara yang diperoleh tidak dapat memperoleh 2/3 suara yang diperlukan.
c. Dukungan Negara Negara Asia Afrika (KAA)
Gagal melalui cara bilateral, Indonesia juga menempuh jalur diplomasi secara regional dengan mencari dukungan dari negara-negara Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Indonesia tahun 1955 dan dihadiri oleh 29 negara-negara di kawasan Asia Afrika, secara bulat mendukung upaya bangsa Indonesia untuk memperoleh kembali Irian sebagai wilayah yang sah dari RI.
Namun suara bangsa-bangsa Asia Afrika di dalam forum PBB tetap tidak dapat menarik dukungan internasional dalam sidang Majelis Umum PBB.
3. Perjuangan dengan konfrontasi politik dan ekonomi
Kegagalan pemerintah Indonesia untuk mengembalikan Irian Barat baik secara bilateral, Forum PBB dan dukungan Asia Afrika, membuat pemerintah RI menempuh jalan lain pengembalian Irian Barat, yaitu jalur konfrontasi. Berikut ini adalah upaya Indonesia mengembalikan Irian melalui jalur konfrontasi, yang dilakukan secara bertahap.
a. Pembatalan Uni Indonesia Belanda
Setelah menempuh jalur diplomasi sejak tahun 1950, 1952 dan 1954, serta melalui forum PBB tahun 1954 gagal untuk mengembalikan Irian Barat kedalam pangkuan RI, pemerintah RI mulai bertindak tegas dengan tidak lagi mengakui Uni Belanda Indonesia yang dibentuk berdasarkan KMB. Ini berarti bahwa pembatalan Uni Belanda Indonesia secara sepihak oleh pemerintah RI berarti juga merupakan bentuk pembatalan terhadap isi KMB. Tindakan pemerintah RI ini juga didukung oleh kalangan masyarakat luas, partai-partai dan berbagai organisasi politik, yang menganggap bahwa kemerdekaan RI belum lengkap / sempurna selama Indonesia masih menjadi anggota UNI yang dikepalai oleh Ratu Belanda.
Pada tanggal 3 Mei 1956 Indonesia membatalkan hubungan Indonesia Belanda, berdasarkan perjanjian KMB. Pembatalan ini dilakukan dengan Undang Undang No. 13 tahun 1956 yang menyatakan, bahwa untuk selanjutnya hubungan Indonesia Belanda adalah hubungan yang lazim antara negara yang berdaulat penuh, berdasarkan hukum internasional. Sementara itu hubungan antara kedua negara semakin memburuk, karena :
1. terlibatnya orang-orang Belanda dalam berbagai pergolakan di Indonesia (APRA, Andi Azis, RMS)
2. Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
b. Pembentukan Pemerintahan Sementara Propinsi Irian Barat di Soasiu (Maluku Utara)
Sesuai dengan Program Kerja Kabinet, Ali Sastroamidjojo membentuk Propinsi Irian Barat dengan ibu kota Soasiu (Tidore). Pembentukan propinsi itu diresmikan tanggal 17 Agustus 1956. Propinsi ini meliputi wilayah Irian Barat yang masih diduduki Belanda dan daerah Tidore, Oba, Weda, Patrani, serta Wasile di Maluku Utara.


c. Pemogokan Total Buruh Indonesia
Sepuluh tahun menempuh jalan damai, tidak menghasilkan apapun. Karena itu, pada tanggal 18 Nopember 1957 dilancarkan aksi-aksi pembebasan Irian Barat di seluruh tanah air. Dalam rapat umum yang diadakan hari itu, segera diikuti pemogokan total oleh buruh-buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan milik Belanda pada tanggal 2 Desember 1957. Pada hari itu juga pemerintah RI mengeluarkan larangan bagi beredarnya semua terbitan dan film yang menggunakan bahasa Belanda. Kemudian KLM dilarang mendarat dan terbang di seluruh wilayah Indonesia.
d. Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda
Pada tanggal 3 Desember 1957 semua kegiatan perwakilan konsuler Belanda di Indonesia diminta untuk dihentikan. Kemudian terjadi serentetan aksi pengambil alihan modal perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia, yang semula dilakukan secara spontan oleh rakyat dan buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan Belanda ini. Namun kemudian ditampung dan dilakukan secara teratur oleh pemerintah. Pengambilalihan modal perusahaan perusahaan milik Belanda tersebut oleh pemerintah kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958.
e. Pemutusan Hubungan Diplomatik
Hubungan diplomatik Indonesia – Belanda bertambah tegang dan mencapai puncaknya ketika pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Dalam pidato Presiden yang berjudul ”Jalan Revolusi Kita Bagaikan Malaikat Turun Dari Langit (Jarek)” pada peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke 15, tanggal 17 Agustus 1960, presiden memaklumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda.
Tindakan ini merupakan reaksi atas sikap Belanda yang dianggap tidak menghendaki penyelesaian secara damai pengembalian Irian Barat kepada Indonesia. Bahkan, menjelang bulan Agustus 1960, Belanda mengirimkan kapal induk ” Karel Doorman ke Irian melalui Jepang. Disamping meningkatkan armada lautnya, Belanda juga memperkuat armada udaranya dan angkutan darat nya di Irian Barat.
Karena itulah pemerintah RI mulai menyusun kekuatan bersenjatanya untuk mempersiapkan segala sesuatu kemungkinan. Konfrontasi militer pun dimulai.

4. Tri Komando Rakyat
a. Tri Komando Rakyat
Dalam pidatonya ”Membangun Dunia Kembali” di forum PBB tanggal 30 September 1960, Presiden Soekarno berujar, ”......Kami telah mengadakan perundingan-perundingan bilateral......harapan lenyap, kesadaran hilang, bahkan toleransi pu n mencapai batasnya. Semuanya itu telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.”
Tindakan konfrontasi politik dan ekonomi yang dilancarkan Indonesia ternyata belum mampu memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Pada bulan April 1961 Belanda membentuk Dewan Papua, bahkan dalam Sidang umum PBB September 1961, Belanda mengumumkan berdirinya Negara Papua. Untuk mempertegas keberadaan Negara Papua, Belanda mendatangkan kapal induk ”Karel Doorman” ke Irian Barat.
Terdesak oleh persiapan perang Indonesia itu, Belanda dalam sidang Majelis Umum PBB XVI tahun 1961 mengajukan usulan dekolonisasi di Irian Barat, yang dikenal dengan ”Rencana Luns”.
menanggapi rencana licik Belanda tersebut, pada tanggal 19 Desember 1961 bertempat di Yogyakarta, Presiden Soekarno mengumumkan TRIKORA dalam rapat raksasa di alun alun utara Yogyakarta, yang isinya :
1. Gagalkan berdirinya negara Boneka Papua bentukan Belanda
2. Kibarkan sang Merah Putih di irtian Jaya tanah air Indonesia
3. Bersiap melaksanakan mobilisasi umum
b. Pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat
Sebagai langkah pertama pelaksanaan Trikora adalah pembentukan suatu komando operasi, yang diberi nama ”Komando Mandala Pembebasan Irian Barat”. Sebagai panglima komando adalah Brigjend. Soeharto yang kermudian pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Panglima Komando : Mayjend. Soeharto
Wakil Panglima I : Kolonel Laut Subono
Wakil Panglima II : Kolonel Udara Leo Wattimena
Kepala Staf Gabungan : Kolonel Ahmad Tahir
Komando Mandala yang bermarkas di Makasar ini mempunyai dua tujuan :
1. merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan operasi militer untuk mengembalikan Irian barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia
2. mengembangkan situasi militer di wilayah Irian barat sesuai dengan perkembangan perjuangan di bidang diplomasi supaya dalam waktu singkat diciptakan daerah daerah bebas de facto atau unsur pemerintah RI di wilayah Irian Barat
Dalam upaya melaksanakan tujuan tersebut, Komando Mandala membuat strategi dengan membagi operasi pembebasan Irian Barat menjadi tiga fase, yaitu :
1. Fase infiltrasi
Dimulai pada awal Januari tahun 1962 sampai dengan akhir tahun 1962, dengan memasukkan 10 kompi ke sekitar sasaaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto.
2. Fase Eksploitasi
Dimulai pada awal Januari 1964 sampai dengan akhir tahun 1963, dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan, menduduki semua pos pertahanan musuh yang penting.
3. Fase Konsolidasi
Dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 1964, dengan menegakkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian Barat.


Sebelum Komando mandala bekerja aktif, unsur militer yang tergabung dalam Motor Boat Torpedo (MTB) telah melakukan penyusupan ke Irian Barat. Namun kedatangan pasukan ini diketahui oleh Belanda, sehingga pecah pertempuran di Laut Arafura. Dalam pertempuran yang sangat dahsyat ini, MTB Macan Tutul berhasil ditenggelamkan oleh Belanda dan mengakibatkan gugurnya komandan MTB Macan Tutul Yoshafat Sudarso (Pahlawan Trikora)
Sementara itu Presiden Amerika Serikat yang baru saja terpilih John Fitzgerald Kennedy merasa risau dengan perkembangan yang terjadi di Irian Barat. Dukungan Uni Soviet ( PM. Nikita Kruschev ) kepada perjuangan RI untuk mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda, menimbulkan terjadinya ketegangan politik dunia, terutama pada pihak Sekutu (NATO) pimpinan Amerika Serikat yang semula sangat mendukung Belanda sebagai anggota sekutunya. Apabila Uni Soviet telah terlibat dan Indonesia terpengaruh kelompok ini, maka akan sangat membahayakan posisi Amerika Serikat di Asia dan dikhawatirkan akan menimbulkan masalah Pasifik Barat Daya. Apabila pecah perang Indonesia dengan Belanda maka Amerika akan berada dalam posisi yang sulit. Amerika Serikat sebagai sekutu Belanda akan di cap sebagai negara pendukung penjajah dan Indonesia akan jatuh dalam pengaruh Uni Soviet.
Untuk itu, dengan meminjam tangan Sekjend PBB U Than, Kennedy mengirimkan diplomatnya yang bernama Elsworth Bunker untuk mengadakan pendekatan kepada Indonesia – Belanda.
Sesuai dengan tugas dari Sekjend PBB ( U Than ), Elsworth Bunker pun mengadakan penelitian masalah ini, dan mengajukan usulan yang dikenal dengan ”Proposal Bunker”. Adapun isi Proposal Bunker tersebut adalah sebagai berikut :
”Belanda harus menyerahkan kedaulatan atas Irian barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu paling lambat dua tahun”
Usulan ini menimbulkan reaksi :
1. Dari Indonesia : meminta supaya waktu penyerahan diperpendek
2. Dari Belanda : setuju melalui PBB, tetapi tetap diserahkan kepada Negara Papua Merdeka
c. Operasi Jaya Wijaya
Pelaksanaan Operasi
1. Maret - Agustus 1962 dilancarkan operasi pendaratan melalui laut dan udara
2. Rencana serangan terbuka untuk merebut Irian Barat sebagai suatu operasi penentuan, yang diberi nama Operasi Jaya wijaya”. Pelaksanaan operasi adalah sebagai berikut :
a. Angkatan Laut Mandala dipimpin oleh Kolonel Soedomo membentuk tugas amphibi 17, terdiri dari 7 gugus tugas
b. Angkatan Udara Mandala membentuk enam kesatuan tempur baru.
Sementara itu sebelum operasi Jayawijaya dilaksanakan, diadakan perundingan di Markas Besar PBB pada tanggal 15 Agustus 1962, yang menghasilkan suatu resolusi penghentian tembak menembak pada tanggal 18 Agustus 1962.
5. Persetujuan New York [ New York Agreement ]
Setelah operasi-operasi infiltrasi mulai mengepung beberapa kota penting di Irian Barat, sadarlah Belanda dan sekutu-sekutunya, bahwa Indonesia tidak main-main untuk merebut kembali Irian Barat. Atas desakan Amerika Serikat, Belanda bersedia menyerahkan irian Barat kepada Indonesia melalui Persetujuan New York / New York Agreement.
Isi Pokok persetujuan :
1. Paling lambat 1 Oktober 1962 pemerintahan sementara PBB (UNTEA) akan menerima serah terima pemerintahan dari tangan Belanda dan sejak saat itu bendera merah putih diperbolehkan berkibar di Irian Barat..
2. Pada tanggal 31 Desember 11962 bendera merah putih berkibar disamping bendera PBB.
3. Pemulangan anggota anggota sipil dan militer Belanda sudah harus selesai tanggal 1 Mei 1963
4. Selambat lambatnya tanggal 1 Mei 1963 pemerintah RI secara resmi menerima penyerahan pemerintahan Irian Barat dari tangan PBB
5. Indonesia harus menerima kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat rakyat di Irian Barat, paling lambat sebelum akhir tahun 1969.
Sesuai dengan perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI. Upacara berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu bendera PBB diturunkan dan berkibarlah merah putih yang menandai resminya Irian Barat menjadi propinsi ke 26. Nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya ( sekarang Papua )
6. Arti penting Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
Sebagai salah satu kewajiban pemerintah Republik Indonesia menurut persetujuan New York, adalah pemerintah RI harus mengadakan penentuan pendapat rakyat di Irian Barat paling lambat akhir tahun 1969. pepera ini untuk menentukan apakah rakyat Irian Barat memilih, ikut RI atau merdeka sendiri. Penentuan pendapat Rakyat akhirnya dilaksanakan pada tanggal 24 Maret sampai dengan 4 Agustus 1969.Mereka diberi dua opsi, yaitu : bergabung dengan RI atau merdeka sendiri.
Setelah Pepera dilaksanakan, Dewan Musyawarah Pepera mengumumkan bahwa rakyat Irian dengan suara bulat memutuskan Irian Jaya tetap merupakan bagian dari Republik Indoenesia. Hasil ini dibawa Duta Besar Ortiz Sanz untuk dilaporkan dalam sidang umum PBB ke 24 bulan Nopember 1969. Sejak saat itu secara de yure Irian Jaya sah menjadi milik RI.

Dengan menganalisa fakta-fakta pembebasan Irian Barat sampai kemudian dilaksanakan Pepera, dapat diambil kesimpulan bahwa Pepera mempunyai arti yang sangat penting bagi pemerintah Indonesia, yaitu :
1. bukti bahwa pemerintah Indonesia dengan merebut Irian Barat melalui konfrontasi bukan merupakan sebuah tindakan aneksasi / penjajahan kepada bangsa lain, karena secara sah dipandang dari segi de facto dan de jure Irian Barat merupakan bagian dari wilayah RI
2. upaya keras pemerintah Ri merebut kembali Irian Barat bukan merupakan tindakan sepihak, tetapi juga mendapat dukungan dari masyarakat Irian Barat. Terbukti hasil Pepera menyatakan rakyat Irian ingin bergabung dengan Republik Indonesia.

Ancaman Disintegrasi dalam Negeri

PEMBERONTAKAN PKI MADIUN TAHUN 1948

   A. Latar Belakang
1. Terbentuknya FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin
2. Kedatangan Musso dari Uni Soviet yang membawa paham Komunis
3. Adanya kerja sama antara Musso dan Amir Syarifuddin untuk membentuk negara Komunis

   B. Waktu Kejadian : 18 Desember 1948

   C. Tempat Kejadian : Madiun, Jawa Timur

   D. Tujuan : 
1. Mendirikan Negara Republik Soviet Indonesia yang berhaluan Komunis
2. Menghancurkan dan menggulingkan kebinet Hatta

   E. Tokoh Kejadian :
1. Musso (Tokoh utama dan Pemimpin pemberontakan PKI Madiun tahun 1948
2. Amir Syarifuddin (Pemimpin FDR)

   F. Usaha Pemerintah :
1. Pemerintah mengadakan Operasi Militer di Jawa Tengah (Pimpinan Letkol Gatot Subroto), Jawa Timur (Pimpinan Letkol Sungkono), Divisi 3 Siliwangi di Jawa Barat ( Pimpinan Jend. Ahmad Yani)

   G. Dampak Kejadian :
1. Banyak Korban Jiwa, baik dari TNI maupun PKI
2. Gagalnya pembentukan Negara Komunis


Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terjadi di empat daerah, yaitu :
  1. DI/TII Jawa Barat
Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI) dengan tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962.

  1. DI/TII Jawa Tengah
Gerakan DI/TII juga menyebar ke Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah di bagian utara, yang bergerak di daerah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat sebagai komandan pertemburan Jawa Tengah dengan pangkatMayor Jenderal Tentara Islam Indonesia. Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950 dibentuk Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini. Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudz Abdulrachman (Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu) Gerakan ini berhasil dihancurkan pada tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan Banteng Nasional dari Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Didaerah Merapi-Merbabu juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan oleh Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng Raiders.

  1. DI/TII Aceh
Adanya berbagai masalah antara lain masalah otonomi daerah, pertentangan antargolongan, serta rehabilitasi dan modernisasi daerah yang tidak lancar menjadi penyebab meletusnya pemberontakan DI/TII di Aceh. Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang pada tanggal 20 September 1953 memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Pemberontakan DI/TII di Aceh diselesaikan dengan kombonasi operasi militer dan musyawarah. Hasil nyata dari musyawarah tersebut ialah pulihnya kembali keamanan di daerah Aceh.

  1. DI/TII Sulawesi Selatan
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak diantara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI.
PRRI/ Permesta
Pemberontakan PRRI/Permesta didahului dengan pembentukan dewan-dewan di beberapa daerah di Sumatera, antara lain Dewan Banteng di Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Achmad Husein (20 Desember 1956) ; Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon (22 Desember 1956) dan Dewan Manguni di Manado oleh Letnan Kolonel Ventje Sumuai (18 Februari 1957). Tanggal 10 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.
Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi gabungan yang terdiri atas unsur-unsur darat, laut, udara, dan kepolisian. Serangkaian operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
  1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution. Tujuan mengamankan instansi dan berhasil menguasai kota. Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958.
  2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani berhasil menguasai kota Padang pada tanggal 17 April 1958 dan menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958.
  3. Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo.
  4. Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Dr. Ibnu Sutowo.
  5. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta dilancarkan operasi gabungan dengan nama Merdeka di bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari :
  • Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah, dipimpin oleh Letkol Sumarsono.
  • Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan, dipimpin oleh Letkol Agus Prasmono.
  • Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah Utara Manado, dipimpin oleh Letkol Magenda.
  • Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat

Pada bulan Januari 1950 di Jawa Barat di kalangan KNIL timbul Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Tujuan APRA adalah mempertahankan bentuk Negara Federal Pasundan di Indonesia dan mempertahankan adanya tentara sendiri pada setiap negara bagian Republik Indonesia Serikat. APRA mengajukan ultimatum menuntut supaya APRA diakui sebagaiTentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Pasundan/negara Federal tersebut. Ultimatum ini tidak ditanggapi oleh pemerintah, maka pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung APRA melancarkan teror, APRA berhasil ditumpas. Ternyata dalang gerakan APRA ini berada di Jakarta, yakni Sultan Hamid II. Rencana gerakannya di Jakarta ialah menangkap beberapa menteri Republik Indonesia Serikat yang sedang menghadiri sidang kabinet dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekertaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepada Staf Angkatan Perang Kolonel T.B Simatupang. Rencana tersebut berhasil diketahui dan diambil tindakan preventif, sehingga sidang kabinet ditunda. Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950. Akan tetapi, Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri.
Pemberontakan Andi Aziz
Latar Belakang Andi Aziz
Andi Azis adalah seorang mantan Letnan KNIL dan sudah masuk TNI dengan pangkat Kapten, dia ikut berontak bahkan memimpinnya. Dia memiliki riwayat yang sama uniknya dengan petualang KNIL lainnya seperti Westerling. Andi Azis memiliki cerita hidupnya sendiri. Cerita hidupnya sebelum berontak jauh berbeda dengan orang-orang Sulawesi Selatan pada umumnya. Tidak heran bila Andi Azis menjalanani pekerjaan yang jauh berbeda seperti orang-orang Sulawesi Selatan pada umumnya, sebagai serdadu KNIL. Bisa dipastikan Andi Azis adalah salah satu dari sedikit orang Bugis yang menjadi serdadu KNIL. Bukan tidak mungkin bila Andi Azis adalah orang Bugis dengan pangkat tertinggi dalam KNIL.
Andi Abdul Azis lahir di Sulawesi, diangkat anak oleh orang tua Eropa-nya yang membawanya lke Belanda dan ikut terlibat dalam PD II. Dirinya lalu kembali sebagai bagian dari tentara Belanda yang ysedang menduduki Indonesia. pasca KMB dia terlibat masalah serius dengan TNI karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh federalis macam Saumokil yang memiliki posisi penting dalam Negara Indonesia Timur, Jaksa Agung. Berakhirnya Negara Indonesia Timur mengakibatkan.
Andi Abdul Azis asli Bugis putra orang Bugis. Andi Azis lahir tanggal 19 September 1924, di Simpangbinangal, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pendidikan umumnya di Europe Leger School namun tidak sampai tamat. Andi Azis kemudian dibawa seorang pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda ke negeri Belanda. Di Negeri Belanda tahun 1935 ia memasuki Leger School dan tamat tahun 1938, selanjutnya meneruskan ke Lyceum sampai tahun 1944. Sebenarnya Andi Azis sangat berhasrat untuk memasuki sekolah militer di negeri Belanda untuk menjadi menjadi seorang prajurit. Tetapi niat itu tidak terlaksana karena pecah Perang Dunia II. Kemudian Andi Azis memasuki Koninklijk Leger. Di KL, Andi Azis bertugas sebagai tim pertempuran bawah tanah melawan Tentara Pendudukan Jerman (NAZI). Dari pasukan bawah tanah kemudian Andi Azis dipindahkan kebelakang garis pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari dalam. Karena di Eropa kedudukan sekutu semakin terjepit, maka secara diam-diam Andi Azis dengan kelompoknya menyeberang ke Inggris, daerah paling aman dari Jerman—walaupun sebelum 1944 sering mendapat kiriman bom Jerman dari udara.
Di Inggris kemudian Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando di sebuah Kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Andi Azis lulus dengan pujian sebagai prajurit komando. Selanjutnya mengikuti pendidikan Sekolah calon Bintara di Inggris dan menjadi sersan kadet (1945). Di bulan Agustus 1945 karena SEAC dalam usaha mengalahkan Jepang di front timur memerlukan anggota tentara yang dapat berbahasa Indonesia, maka Andi Abdul Azis kemudian ditempatkan ke komando Perang Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo dan akhirnya ke Calcutta dengan pangkat Sersan.
Andi Azis mungkin satu-satunya orang Indonesia yang mendapat latihan pasukan komando. Andi Azis juga orang Indonesia yang ikut menjadi bagian, walau tidak secara langsung, dari kelahiran pasukan-pasukan komando dunia seperti SAS milik Inggris dan KST Belanda. Andi Azis, seperti halnya Westerling, merupakan orang-orang yang luar di negeri Belanda yang ikut membebaskan Belanda dari pendudukan Jerman. Seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga orang Indonesia yang ikut serta dalam perang Dunia II di front Barat Eropa.
Setelah Jepang menyerah tidak syarat pada sekutu, Andi Azis diperbolehkan memilih tugas apakah yang akan diikutinya, apakah ikut satuan-satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau yang akan bertugas di gugus selatan (Indonesia). Dengan pertimbangan bahwa telah 11 tahun tidak bertemu orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya ia memilih bertugas ke Indonesia, dengan harapan dapat kembali dengan orang tuanya di Makassar. Pada tanggal 19 Januari 1946 satuannya mendarat di Jawa (Jakarta), waktu itu ia menjabat komandan regu, kemudian bertugas di Cilinding. Dalam tahun 1947 mendapat kesempatan cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Tetapi di Makassar Andi Azis merasa bosan. Ditinggalkannya Makassar untuk kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo, pertengahan 1947 ia dipanggil lagi masuk KNIL dan diberi pangkat Letnan Dua. Selanjutnya menjadi Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), karena Sukowati berhasrat memiliki Ajudan bangsa Indonesia asal Sulawesi (Makasar), sedang ajudan seniornya selama ini adalah Kapten Belanda totok. Jabatan ini dijalaninya hampir satu setengah tahun, kemudian ia ditugaskan sebagai salah seorang instruktur di Bandung-Cimahi pada pasukan SSOP—sekolah pasukan payung milik KNIL bernama School tot Opleiding voor Parachusten—(Baret Merah KNIL) dalam tahun 1948. pada tahun 1948 Andi Azis dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dengan 125 orang anak buahnya (KNIL) yang berpengalaman dan kemudian masuk TNI. Dalam susunan TNI (APRIS) kemudian Ia dinaikan pangkatnya menjadi kapten dan tetap memegang kompinya tanpa banyak mengalami perubahan anggotanya.
Tentu saja pasukan dari kompi yang dipimpinnya itu bukan pasukan sembarangan. Kemampuan tempur pasukan itu diatas standar pasukan reguler Belanda—juga TNI. Daerah Cimahi, adalah daerah dimana banyak prajurit Belanda dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Ditempat ini setidaknya ada dua macam pasukan khusus Belanda dilatih: pasukan Komando (baret hijau); pasukan penerjun (baret merah). Andi Azis kemungkinan melatih pasukan komando—sesuai pengalamannnya di front Eropa.
Pasukan Andi Azis ini menjadi salah satu punggung pasukan pemberontak selama bulan April sampai Agustus di Makassar—disamping pasukan Belanda lain yang desersi dan tidak terkendali. Apa yang terjadi dalam pemberontakan APRA Westerling yang terlalu mengandalkan pasukan khusus Belanda Regiment Speciale Troepen—yang pernah dilatih Westerling—maka dalam pemberontakan Andi Azis hampir semua unsur pasukan Belanda terlibat terutama KNIL non pasukan komando. Westerling kurang didukung oleh pasukan KNIL—Westerling lebih menaruh harapan pada RST yang desersi. Pasukan lain non RST hanya pasukan pendukung semata. Pemberontakan Andi Azis, tulang punggung pemberontakan adalah semua pasukan tanpa melihat kualifikasi pasukan.Pemberontakkan Andi Azis, salah seorang komandan bekas satuan tentera Belanda yang meletus pada tanggal 5 April 1950 di Makasar, Ujung Pandang dengan motivasi yang menuntut status dan perlakuan khusus dari pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Antara pihak pemberontak dengan utusan pihak pemerintah dari Jakarta, semula diusahakan pemecahan masalah melalui perundingan yang kemudian disusul dengan ultimatum, sehingga pada akhirnya harus diambil tindakan militer. Pada tanggal 20 Ogos 1950 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dapat menguasai seluruh kota Makasar atau Ujung Pandang.
Pemberontakan Andi Azis
Pada tanggal 5 April 1950 di Makassar timbul pemberontakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS sebagai berikut.
1) Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
2) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
1) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian. Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar